TERBONGKAR ...!! Wali Songo Dakwah Atas Perintah Khalifah
![]() |
TERBONGKAR ...!! Wali Songo Dakwah Atas Perintah Khalifah |
Bisa
dikatakan tak akan ada Islam di Indonesia tanpa peran khilafah. Orang sering
mengatakan bahwa Islam di Indonesia, khususnya di tanah Jawa disebarkan oleh
Walisongo. Tapi tak banyak orang tahu, siapa sebenarnya Walisongo itu ….? Dari
mana mereka berasal ….? Tidak mungkin to mereka tiba-tiba ada, seolah turun
dari langit ….?
Dalam
kitab Kanzul ‘Hum yang ditulis oleh Ibn Bathuthah yang kini tersimpan di Museum
Istana Turki di Istanbul, disebutkan bahwa Walisongo dikirim oleh Sultan
Muhammad I. Awalnya, ia pada tahun 1404 M (808 H) mengirim surat kepada
pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah yang isinya meminta dikirim sejumlah
ulama yang memiliki kemampuan di berbagai bidang untuk diberangkatkan ke pulau
Jawa.
Jadi,
Walisongo sesungguhnya adalah para dai atau ulama yang diutus khalifah di masa
Kekhilafahan Utsmani untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Dan jumlahnya
ternyata tidak hanya sembilan (Songo). Ada 6 angkatan yang masing-masing jumlahnya
sekitar sembilan orang. Memang awalnya dimulai oleh angkatan I yang dipimpin
oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim, asal Turki, pada tahun 1400 an. Ia yang ahli
politik dan irigasi itu menjadi peletak dasar pendirian kesultanan di Jawa
sekaligus mengembangkan pertanian di Nusantara. Seangkatan dengannya, ada dua
wali dari Palestina yang berdakwah di Banten. Yaitu Maulana Hasanudin, kakek
Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Aliudin. Jadi, masyarakat Banten
sesungguhnya punya hubungan biologis dan ideologis dengan Palestina.
Lalu ada
Syekh Ja’far Shadiq dan Syarif Hidayatullah yang di sini lebih dikenal dengan
sebutan Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati. Keduanya juga berasal dari
Palestina. Sunan Kudus mendirikan sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang kemudian
disebut Kudus – berasal dari kata al Quds (Jerusalem).
Dari para
wali itulah kemudian Islam menyebar ke mana-mana hingga seperti yang kita lihat
sekarang. Oleh karena itu, sungguh aneh kalau ada dari umat Islam sekarang yang
menolak khilafah. Itu sama artinya ia menolak sejarahnya sendiri, padahal nenek
moyangnya mengenal Islam tak lain dari para ulama yang diutus oleh para
khalifah.
Islam
masuk ke Indonesia pada abad 7M (abad 1H), jauh sebelum penjajah datang. Islam
terus berkembang dan mempengaruhi situasi politik ketika itu. Berdirilah
kesultanan-kesultanan Islam seperti di Sumatera setidaknya diwakili oleh
institusi kesultanan Peureulak (didirikan pada 1 Muharram 225H atau 12 November
tahun 839M), Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Palembang; Ternate, Tidore dan
Bacan di Maluku (Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440);
Kesultanan Sambas, Pontianak, Banjar, Pasir, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah,
Sintang dan Kutai di Kalimantan.
Adapun
kesultanan di Jawa antara lain: kesultanan Demak, Pajang, Cirebon dan Banten.
Di Sulawesi, Islam diterapkan dalam institusi kerajaan Gowa dan Tallo, Bone,
Wajo, Soppeng dan Luwu. Sementara di Nusa Tenggara penerapan Islam di sana
dilaksanakan dalam institusi kesultanan Bima. Setelah Islam berkembang dan
menjelma menjadi sebuah institusi maka hukum-hukum Islam diterapkan secara
menyeluruh dan sistemik dalam kesultanan-kesultanan tersebut.
PERIODE
DAKWAH WALI SONGO
Kita
sudah mengetahui bahwa mereka adalah Maulana Malik Ibrahim ahli tata
pemerintahan negara dari Turki, Maulana Ishaq dari Samarqand yang dikenal
dengan nama Syekh Awwalul Islam, Maulana Ahmad Jumadil Kubra dari Mesir,
Maulana Muhammad al-Maghrabi dari Maroko, Maulana Malik Israil dari Turki,
Maulana Hasanuddin dari Palestina, Maulana Aliyuddin dari Palestina, dan Syekh
Subakir dari Persia. Sebelum ke tanah Jawa, umumnya mereka singgah dulu di
Pasai. Adalah Sultan Zainal Abidin Bahiyan Syah penguasa Samudra Pasai antara
tahun 1349-1406 M yang mengantar Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq ke
Tanah Jawa.
Pada
periode berikutnya, antara tahun 1421-1436 M datang tiga da’i ulama ke Jawa
menggantikan da’i yang wafat. Mereka adalah Sayyid Ali Rahmatullah putra Syaikh
Ibrahim dari Samarkand (yang dikenal dengan Ibrahim Asmarakandi) dari ibu Putri
Raja Campa-Kamboja (Sunan Ampel), Sayyid Ja’far Shadiq dari Palestina (Sunan
Kudus), dan Syarif Hidayatullah dari Palestina cucu Raja Siliwangi Pajajaran
(Sunan Gunung Jati).
Mulai
tahun 1463M makin banyak da’i ulama keturunan Jawa yang menggantikan da’i yang
wafat atau pindah tugas. Mereka adalah Raden Paku (Sunan Giri) putra Maulana
Ishaq dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu, Raja Blambangan; Raden
Said (Sunan Kalijaga) putra Adipati Wilatikta Bupati Tuban; Raden Makdum
Ibrahim (Sunan Bonang); dan Raden Qasim Dua (Sunan Drajad) putra Sunan Ampel
dengan Dewi Condrowati, putri Prabu Kertabumi Raja Majapahit.
Banyaknya
gelar Raden yang berasal dari kata Rahadian yang berarti Tuanku di kalangan
para wali, menunjukkan bahwa dakwah Islam sudah terbina dengan subur di
kalangan elit penguasa Kerajaan Majapahit. Sehingga terbentuknya sebuah
kesultanan tinggal tunggu waktu.
Hubungan
tersebut juga nampak antara Aceh dengan Khilafah Utsmaniyah. Bernard Lewis
menyebutkan bahwa pada tahun 1563M, penguasa Muslim di Aceh mengirim seorang
utusan ke Istambul untuk meminta bantuan melawan Portugis sambil meyakinkan
bahwa sejumlah raja di kawasan tersebut telah bersedia masuk agama Islam jika
kekhalifahan Utsmaniyah mau menolong mereka.
Saat itu
kekhalifahan Utsmaniyah sedang disibukkan dengan berbagai masalah yang
mendesak, yaitu pengepungan Malta dan Szigetvar di Hungaria, dan kematian
Sultan Sulaiman Agung. Setelah tertunda selama dua bulan, mereka akhirnya
membentuk sebuah armada yang terdiri dari 19 kapal perang dan sejumlah kapal
lainnya yang mengangkut persenjataan dan persediaan untuk membantu masyarakat
Aceh yang terkepung.
Namun,
sebagian besar kapal tersebut tidak pernah tiba di Aceh. Banyak dari
kapal-kapal tersebut dialihkan untuk tugas yang lebih mendesak yaitu memulihkan
dan memperluas kekuasaan Utsmaniyah di Yaman. Ada satu atau dua kapal yang tiba
di Aceh. Kapal-kapal tersebut selain membawa pembuat senjata, penembak, dan
teknisi juga membawa senjata dan peralatan perang lainnya, yang langsung
digunakan oleh penguasa setempat untuk mengusir Portugis. Peristiwa ini dapat
diketahui dalam berbagai arsip dokumen negara Turki.
Hubungan
ini nampak pula dalam penganugerahan gelar-gelar kehormatan diantaranya Abdul
Qadir dari Kesultanan Banten misalnya, tahun 1048 H (1638 M) dianugerahi gelar
Sultan Abulmafakir Mahmud Abdul Kadir oleh Syarif Zaid, Syarif Mekkah saat itu.
Demikian pula Pangeran Rangsang dari Kesultanan Mataram memperoleh gelar Sultan
dari Syarif Mekah tahun 1051 H (1641 M ) dengan gelar Sultan Abdullah Muhammad
Maulana Matarami. Pada tahun 1638 M, sultan Abdul Kadir Banten berhasil
mengirim utusan membawa misi menghadap syarif Zaid di Mekah.
Hasil
misi ke Mekah ini sangat sukses, sehingga dapat dikatakan kesultanan Banten
sejak awal memang meganggap dirinya sebagai kerajaan Islam, dan tentunya
termasuk Dar al-Islam yang ada di bawah kepemimpinan Khalifah Turki Utsmani di
Istanbul. Sultan Ageng Tirtayasa mendapat gelar sultan dari Syarif mekah.
Hubungan
erat ini nampak juga dalam bantuan militer yang diberikan oleh Khilafah
Islamiyah. Dalam Bustanus Salatin karangan Nuruddin ar-Raniri disebutkan bahwa
kesultanan Aceh telah menerima bantuan militer berupa senjata disertai
instruktur yang mengajari cara pemakaiannya dari Khilafah Turki Utsmani
(1300-1922).
Bernard
Lewis (2004) menyebutkan bahwa pada tahun 1563 penguasa Muslim di Aceh mengirim
seorang utusan ke Istanbul untuk meminta bantuan melawan Portugis. Dikirimlah
19 kapal perang dan sejumlah kapal lainnya pengangkut persenjataan dan
persediaan; sekalipun hanya satu atau dua kapal yang tiba di Aceh.
Tahun
1652 kesultanan Aceh mengirim utusan ke Khilafah Turki Utsmani untuk meminta
bantuan meriam. Khilafah Turki Utsmani mengirim 500 orang pasukan orang Turki
beserta sejumlah besar alat tembak (meriam) dan amunisi. Tahun 1567, Sultan
Salim II mengirim sebuah armada ke Sumatera, meski armada itu lalu dialihkan ke
Yaman. Bahkan Snouck Hourgroye menyatakan, “Di Kota Makkah inilah terletak
jantung kehidupan agama kepulauan Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan
darah segar ke seluruh penduduk Muslimin di Indonesia.” Bahkan pada akhir abad
20, Konsul Turki di Batavia membagi-bagikan al-Quran atas nama Sultan Turki.
Di
istambul juga dicetak tafsir al-Quran berbahasa melayu karangan Abdur Rauf
Sinkili yang pada halaman depannya tertera “dicetak oleh Sultan Turki, raja
seluruh orang Islam”. Sultan Turki juga memberikan beasiswa kepada empat orang
anak keturunan Arab di Batavia untuk bersekolah di Turki.
Pada masa
itu, yang disebut-sebut Sultan Turki tidak lain adalah Khalifah, pemimpin
Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Selain itu, Snouck Hurgrounye
sebagaimana dikutip oleh Deliar Noer mengungkapkan bahwa rakyat kebanyakan pada
umumnya di Indonesia, terutama mereka yang tinggal di pelosok-pelosok yang jauh
di penjuru tanah air, melihat stambol (Istambul, kedudukan Khalifah Usmaniyah)
masih senantiasa sebagai kedudukan seorang raja semua orang mukmin yang
kekuasaannya mungkin agaknya untuk sementara berkurang oleh adanya kekuasaan
orang-orang kafir, tetapi masih dan tetap [dipandang] sebagai raja dari segala
raja di dunia. Mereka juga berpikir bahwa “sultan-sultan yang belum beragama
mesti tunduk dan memberikan penghormatannya kepada khalifah.” Demikianlah,
dapat dikatakan bahwa Islam berkembang di Indonesia dengan adanya hubungan
dengan Khilafah Turki Utsmani.
Dengan
demikian, keterkaitan Nusantara sebagai bagian dari Khilafah, baik saat
Khilafah Abbasiyah Mesir dan Khilafah Utsmaniyah telah nampak jelas pada
pengangkatan Meurah Silu menjadi Sultan Malikussaleh di Kesultanan
Samudra-Pasai Darussalam oleh Utusan Syarif Mekkah, dan pengangkatan Sultan
Abdul Kadir dari Kesultanan Banten dan Sultan Agung dari Kesultanan Mataram
oleh Syarif Mekkah.
Dengan
mengacu pada format sistem kehilafahan saat itu, Syarif Mekkah adalah Gubernur
(wali) pada masa Khilafah Abbasiyah dan Khilafah Utsmaniyah untuk kawasan
Hijaz. Jadi, wali yang berkedudukan di Mekkah bukan semata penganugerahan gelar
melainkan pengukuhannya sebagai sultan. Sebab, sultan artinya penguasa.
Karenanya, penganugerahan gelar sultan oleh wali lebih merupakan pengukuhan
sebagai penguasa Islam. Sementara itu, kelihatan Aceh memiliki hubungan
langsung dengan pusat khilafah Utsmaniyah di Turki.
KESIMPULAN
Jumlah
dai yang diutus ini tidak hanya sembilan (Songo). Bahkan ada 6 angkatan yang
dikirimkan, masing-masing jumlanya sekitar sembilan orang. (Versi lain
mengatakan 7 bahkan 10 angkatan karena dilanjutkan oleh anak / keturunannya)
Para Wali
ini datang dimulai dari Maulana Malik Ibrahim, asli Turki. Beliau ini ahli
politik & irigasi, wafat di Gresik.
- Maulana Malik Ibrahim ini menjadi peletak dasar pendirian kesultanan di Jawa sekaligus mengembangkan pertanian di Nusantara.
- Seangkatan dengan beliau ada 2 wali dari Palestina yg berdakwah di Banten; salah satunya Maulana Hasanudin, beliau kakek Sultan Ageng Tirtayasa.
- Juga Sultan Aliyudin, beliau dari Palestina dan tinggal di Banten. Jadi masyarakat Banten punya hubungan darah & ideologi dg Palestina.
- Juga Syaikh Ja'far Shadiq & Syarif Hidayatullah; dikenal disini sebagai Sunan Kudus & Sunan Gunung Jati; mereka berdua dari Palestina.
- Maka jangan heran, Sunan Kudus mendirikan Kota dengan nama Kudus, mengambil nama Al-Quds (Jerusalem) & Masjid al-Aqsha di dalamnya.
(Sumber
Muhammad Jazir, seorang budayawan & sejarawan Jawa , Pak Muhammad Jazir ini
juga penasehat Sultan Hamengkubuwono X).
Adapun
menurut Berita yang tertulis di dalam kitab Kanzul ‘Hum karya Ibnul Bathuthah,
yang kemudiah dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al Maghribi.
Sultan
Muhammad I itu membentuk tim beranggotakan 9 orang untuk diberangkatkan ke
pulau Jawa dimulai pada tahun 1404. Tim tersebut diketuai oleh Maulana Malik
Ibrahim yang merupakan ahli mengatur negara dari Turki.
Wali
Songo Angkatan Ke-1, tahun 1404 M/808 H. Terdiri dari:
1.
Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara.
2.
Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.
3.
Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.
4.
Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko.
5.
Maulana Malik Isro’il, dari Turki, ahli mengatur negara.
6.
Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
7.
Maulana Hasanudin, dari Palestina.
8.
Maulana Aliyudin, dari Palestina.
9. Syekh
Subakir, dari Iran, Ahli ruqyah.
Wali
Songo Angkatan ke-2, tahun 1436 M, terdiri dari :
1. Sunan
Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan
2.
Maulana Ishaq, asal Samarqand, Rusia Selatan
3.
Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir
4.
Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko
5. Sunan
Kudus, asal Palestina
6. Sunan
Gunung Jati, asal Palestina
7.
Maulana Hasanuddin, asal Palestina
8.
Maulana 'Aliyuddin, asal Palestina
9. Syekh
Subakir, asal Persia Iran.
Wali
Songo Angkatan ke-3, 1463 M, terdiri dari:
1. Sunan
Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan
2. Sunan
Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim
3.
Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir
4.
Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko
5. Sunan
Kudus, asal Palestina
6. Sunan
Gunung Jati, asal Palestina
7. Sunan
Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan
Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan
Kalijaga, asal Tuban, Jatim
Wali
Songo Angkatan ke-4,1473 M, terdiri dari :
1. Sunan
Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan
2. Sunan
Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim
3. Raden
Fattah, asal Majapahit, Raja Demak
4.
Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon
5. Sunan
Kudus, asal Palestina
6. Sunan
Gunung Jati, asal Palestina
7. Sunan
Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan
Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan
Kalijaga, asal Tuban, Jatim
Wali
Songo Angkatan ke-5,1478 M, terdiri dari :
1. Sunan
Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim
2. Sunan
Muria, asal Gunung Muria, Jawa Tengah
3. Raden
Fattah, asal Majapahit, Raja Demak
4.
Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon
5. Sunan
Kudus, asal Palestina
6. Syaikh
Siti Jenar, asal Persia, Iran
7. Sunan
Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan
Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan
Kalijaga, asal Tuban, Jatim
Wali
Songo Angkatan ke-6,1479 M, terdiri dari :
1. Sunan
Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim
2. Sunan
Muria, asal Gunung Muria, Jawa Tengah
3. Raden
Fattah, asal Majapahit, Raja Demak
4.
Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon
5. Sunan
Kudus, asal Palestina
6. Sunan
Tembayat, asal Pandanarang
7. Sunan
Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan
Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan
Kalijaga, asal Tuban, Jatim
Syamsul
Arifin, berbagai sumber
Selamatkan
Generasi Muslim dari Pembodohan dan Kebohongan Sejarah ........ !!!
Awal
Masuk Islam di Indonesia :
Sebelum
kita mengenal beberapa teori tentang penyebaran Islam di Nusantara, perlu di
perhatikan bahwa Politik Luar Negeri Negara Khilafah terdiri dari dua; Da’wah
dan Jihad. Awalnya negeri yang di targetkan akan di beri da’wah, ketika
menerima maka tidak ada perang di sana. Namun, ketika menolak, maka akan
terjadi Jihad dan Futuhat (Pembebasan). Dua hal ini adalah politik Luar Negeri,
dimana di setiap perkembangan akan di sampaikan kepada Khalifah.
Itu pula
yang terjadi di Indonesia. Jika penyebaran Islam di lakukan oleh pedagang
semata, bukan Da’i atau utusan, maka apakah akan ada laporan kepada Khalifah?
Lalu, apakah penyebaran lewat jalur perdagangan merupakan Politik Luar Negeri?
Apakah penyebaran Islam dengan jalur perdagangan hanya propaganda untuk
menutupi bahwa Nusantara pernah menjadi fokus Da’wah Islam dan menjadi bagian
dari Khilafah?
Dari
teori Islamisasi oleh Arab dan China, Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam
Indonesia, mengaitkan dua teori Islamisasi tersebut. Islam datang ke Indonesia
pada abad ke-7 Masehi. Penyebarannya pun bukan dilakukan oleh para pedagang
dari Persia atau India, melainkan dari Arab. Sumber versi ini banyak ditemukan
dalam literatur-literatur China yang terkenal, seperti buku sejarah tentang
China yang berjudul Chiu Thang Shu.
Menurut
buku ini, orang-orang Ta Shih, sebutan bagi orang-orang Arab, pernah mengadakan
kunjungan diplomatik ke China pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah. Empat
tahun kemudian, dinasti yang sama menerima delegasi dari Tan Mi Mo Ni’, sebutan
untuk Amirul Mukminin. Selanjutnya, buku itu menyebutkan, bahwa delegasi Tan Mi
Mo Ni’ itu merupakan utusan yang dikirim oleh khalifah yang ketiga. Ini berarti
bahwa Amirul Mukminin yang dimaksud adalah Khalifah Utsman bin Affan.
Pada masa
berikutnya, delegasi-delegasi muslim yang dikirim ke China semakin bertambah.
Pada masa Khilafah Umayyah saja, terdapat sebanyak 17 delegasi yang datang ke
China. Kemudian pada masa Dinasti Abbasiyah, ada sekitar 18 delegasi yang
pernah dikirim ke China.
Bahkan
pada pertengahan abad ke-7 Masehi, sudah terdapat perkampungan-perkampungan
muslim di daerah Kanton dan Kanfu. Sumber tentang versi ini juga dapat
diperoleh dari catatan-catatan para peziarah Budha-China yang sedang berkunjung
ke India. Mereka biasanya menumpang kapal orang-orang Arab yang kerap melakukan
kunjungan ke China sejak abad ketujuh. Tentu saja, untuk sampai ke daerah
tujuan, kapal-kapal itu melewati jalur pelayaran Nusantara.
Beberapa
catatan lain menyebutkan, delegasi-delegasi yang dikirim China itu sempat
mengunjungi Zabaj atau Sribuza, sebutan lain dari Sriwijaya. Mereka umumnya
mengenal kebudayaan Budha Sriwijaya yang sangat dikenal pada masa itu.
Kunjungan ini dikisahkan oleh Ibnu Abd al-Rabbih, ia menyebutkan bahwa sejak
tahun 100 hijriah atau 718 Masehi, sudah terjalin hubungan diplomatik yang
cukup baik antara Raja Sriwijaya, Sri Indravarman dengan Khalifah Umar Ibnu
Abdul Aziz.
Lebih
jauh, dalam literatur China itu disebutkan bahwa perjalanan para delegasi itu
tidak hanya terbatas di Sumatera saja, tetapi sampai pula ke daerah-daerah di
Pulau Jawa. Pada tahun 674-675 Masehi, orang-orang Ta Shi (Arab) yang dikirim
ke China itu meneruskan perjalanan ke Pulau Jawa. Menurut sumber ini, mereka
berkunjung untuk mengadakan pengamatan terhadap Ratu Shima, penguasa Kerajaan
Kalingga, yang terkenal sangat adil itu.
Pada
periode berikutnya, proses Islamisasi di Jawa dilanjutkan oleh Wali Songo.
Mereka adalah para muballig yang paling berjasa dalam mengislamkan masyarakat
Jawa. Dalam Babad Tanah Djawi disebutkan, para Wali Songo itu masing-masing
memiliki tugas untuk menyebarkan Islam ke seluruh pelosok Jawa melalui tiga
wilayah penting. Wilayah pertama adalah, Surabaya, Gresik, dan Lamongan di Jawa
Timur.
Wilayah
kedua adalah, Demak, Kudus, dan Muria di Jawa Tengah. Dan wilayah ketiga
adalah, Cirebon di Jawa Barat. Dalam berdakwah, para Wali Songo itu menggunakan
jalur-jalur tradisi yang sudah dikenal oleh orang-orang Indonesia kuno. Yakni
melekatkan nilai-nilai Islam pada praktik dan kebiasaan tradisi setempat.
Dengan demikian, tampak bahwa ajaran Islam sangat luwes, mudah dan memenuhi
kebutuhan masyarakat Jawa.
Selain
berdakwah dengan tradisi, para Wali Songo itu juga mendirikan
pesantren-pesantren, yang digunakan sebagai tempat untuk menelaah ajaran-ajaran
Islam, sekaligus sebagai tempat pengaderan para santri. Pesantren Ampel Denta
dan Giri Kedanton, adalah dua lembaga pendidikan yang paling penting di masa
itu. Bahkan dalam pesantren Giri di Gresik, Jawa Timur itu, Sunan Giri telah
berhasil mendidik ribuan santri yang kemudian dikirim ke beberapa daerah di
Nusa Tenggara dan wilayah Indonesia Timur lainnya.
Penjajah
Belanda Menghapuskan Jejak Khilafah
Pada masa
penjajahan, Belanda berupaya menghapuskan penerapan syariah Islam oleh hampir
seluruh kesultanan Islam di Indonesia. Salah satu langkah penting yang dilakukan
Belanda adalah menyusupkan pemikiran dan politik sekular melalui Snouck
Hurgronye. Dia menyatakan dengan tegas bahwa musuh kolonialisme bukanlah Islam
sebagai agama.
Dari
pandangan Snouck tersebut penjajah Belanda kemudian berupaya melemahkan dan
menghancurkan Islam dengan 3 cara. Pertama: memberangus politik dan institusi
politik/pemerintahan Islam. Dihapuslah kesultanan Islam. Contohnya adalah
Banten. Sejak Belanda menguasai Batavia, Kesultanan Islam Banten langsung
diserang dan dihancurkan. Seluruh penerapan Islam dicabut, lalu diganti dengan
peraturan kolonial.
Kedua:
melalui kerjasama raja/sultan dengan penjajah Belanda. Hal ini tampak di
Kerajaan Islam Demak. Pelaksanaan syariah Islam bergantung pada sikap
sultannya. Di Kerajaan Mataram, misalnya, penerapan Islam mulai menurun sejak
Kerajaan Mataram dipimpin Amangkurat I yang bekerjasama dengan Belanda.
Ketiga:
dengan menyebar para orientalis yang dipelihara oleh pemerintah penjajah.
Pemerintah Belanda membuat Kantoor voor Inlandsche zaken yang lebih terkenal
dengan kantor agama (penasihat pemerintah dalam masalah pribumi). Kantor ini
bertugas membuat ordonansi (UU) yang mengebiri dan menghancurkan Islam. Salah
satu pimpinannya adalah Snouck Hurgronye.
Dikeluarkanlah:
Ordonansi Peradilan Agama tahun 1882, yang dimaksudkan agar politik tidak
mencampuri urusan agama (sekularisasi); Ordonansi Pendidikan, yang menempatkan
Islam sebagai saingan yang harus dihadapi; Ordonansi Guru tahun 1905 yang
mewajibkan setiap guru agama Islam memiliki izin; Ordonansi Sekolah Liar tahun
1880 dan 1923, yang merupakan percobaan untuk membunuh sekolah-sekolah Islam.
Sekolah Islam didudukkan sebagai sekolah liar.
Demikianlah,
syariah Islam mulai diganti oleh penjajah Belanda dengan hukum-hukum sekular.
Hukum-hukum sekular ini terus berlangsung hingga sekarang. Walhasil, tidak
salah jika dikatakan bahwa hukum-hukum yang berlaku di negeri ini saat ini
merupakan warisan dari penjajah; sesuatu yang justru seharusnya dienyahkan oleh
kaum Muslim, sebagaimana mereka dulu berhasil mengenyahkan sang penjajah:
Belanda
Sumber Artikel : Grup FB ==> Garuda Muda Banjarsari
Posting Komentar untuk "TERBONGKAR ...!! Wali Songo Dakwah Atas Perintah Khalifah"